Minggu, 23 Oktober 2016

Riska Ayu Ardani
16709251021
Pendidikan Matematika Kelas B PPS UNY 2016


MENELAAH DUNIA MELALUI FILSAFAT ILMU


FILSAFAT ILMU ( 5 September 2016 )
Perjalanan hidup terasa begitu signifikan berubah, saat ini di waktu hampir senja dan di ruang kuliah, bersama para pembelajar bersemangat menerima perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu oleh Prof. Marsigit. Pada permulaannya bapak Marsigit menjelaskan bahwa di perkuliahan filsafat ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pada level pendidikan S1, S2 dan S3 terletak beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut dapat diuji dan dilihat dari kurikulum kualifikasi nasional Indonesia (KKNI).
Bapak Marsigit membuat strategi untuk setiap orang yang diajak berkomunikasi, karena menurut pandangan beliau filsafat itu prerequisite (prasyaratnya) berupa pengalaman. Sedangkan pengalaman sendiri sangat luas, jadi tidak ada spesifik tertentu, atau konsep tertentu yang mendahului dan sebagainya  itu bersifat tidak ada. Jika kita ingin pergi ke pasar terlebih dahulu atau ke bank dahulu itu adalah sesuatu yang bersifat kontekstual, tidak ada konsep bahwa untuk pergi ke bank prasyaratnya harus ke pasar terlebih dahulu atau sebaliknya itu tidak ada, seperti itulah kira kira gambaran filsafat. Hal lainnya hanya berupa kedalaman dan intensitasnya saja.
Prerequisite dalam belajar filsafat yang merupakan sebuah pengalaman mengakibatkan munculnya beberapa asumsi dan asumsi-asumsi tesebut perlu diketahui bersama. Karena perkuliahan yang  memiliki waktu yang terbatas dan ruang yang terbatas maka bapak Marsigit mencoba untuk mengambil peran tetapi tidak berarti mengurangi atau menghilangkan peran mahasiswa, tetapi menambah bahkan melebih-lebihkan peran mahasiswa. Jika waktu perkuliahan lebih banyak dimanfaatkan oleh bapak Marsigit untuk mengajar, hal ini menjadi sesuatu yang tidak baik. Faktanya, sebagian dari kita memiliki persepsi yang berbeda beda. Oleh karena itu, jika perkuliahan hanya berlangsung pada rentang saat ini, dan tidak ada yang lain, jika dilihat dari sisi waktu dan jika Bapak Marsigit adalah guru yang otoriter, berarti waktu yang ada akan digunakan semua oleh beliau.
Keadaan tersebut adalah reduksi, yang kemudian bapak Marsigit sederhanakan bahwa hidup ini dari  pemanfaatan waktu saja. Tetapi hidup tidak seperti itu, tidak hanya masalah uang saja, tidak hanya masalah waktu saja, tidak hanya kekayaan saja. Bapak Marsigit menyarankan agar kita perlu mencari waktu yang lain supaya kita memiliki waktu selain dari perkuliahan ini. Masing-masing independen, merdeka antara satu dengan yang lain. Jadi, peran mahasiswa dapat dioptimalkan pada suasana dan tempat tertentu dimana mahasiswa bisa merdeka berbicara, berpikir, dan sebagainya selain ditempat ini. Strategi perkuliahan yang ditawarkan oleh bapak Marsigit adalah membaca semua elegi dan meninggalkan jejak di dalam setiap elegi tersebut. Belajar adalah sesuatu yang merdeka, dan secara prosedur dan sifatnya adalah demokratis bagi pembelajar filsafat ilmu ini untuk mencari sebuah makna dan nilai yang berbeda tetapi masih dalam struktur yang sama.
Selanjutnya dapat dilihat di....
Menelaah Dunia Melalui Filsafat Ilmu


Jumat, 07 Oktober 2016

BERFIKIR MELALUI FILSAFAT

Refleksi pertemuan ke 4 (Senin, 3 Oktober 2016)
Direfleksikan oleh : Riska Ayu Ardani (16709251021)
Diperbaiki oleh : Marsigit


Bismmillahirahmanirrahim,
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Pertemuan ke 4 kuliah Filsafat Ilmu ini dijalani dengan niat dan semangat yang luar biasa demi mendapatkan sebuah harafiah dan nilai tentang segala sesuatu dalam kehidupan, meskipun perkuliahan ini berakhir hingga hampir senja. Setiap proses yang terdapat dalam pembelajaran Bapak Marsigit, menurut sudut pandang saya semua memiliki arti dan nilai. Seperti halnya, perkuliahan ini diawali dengan 50 soal tanya jawab singkat, memberikan pehaman bahwa belajar tak terbatas waktu dan terutama tak dibatasi oleh hati, ikhlas. Setiap nilai 0 yang saya dapatkan, semakin timbul rasa semangat saya untuk terus belajar dan ikhlas menjalankannya. Kemudian saya memahaminya kembali, ternyata bukan nilai angka yang saya dapatkan melainkan nilai kehidupan melalui belajar filsafat ini.

Perkuliahan ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang pertama kali diawali dengan pertanyaan dari Sdra Budiyanto “Bagaimana filsafat memandang kejadian Hipnotis”.  Kemudian Bapak Marsigit menjelaskan kepada kami bahwa hipnotis bukan sesuatu yang rumit, karena hipnotis bukan sesuatu yang memiliki rumus. Seperti seseorang yang bermain kuda lumping mereka merasa tidak sadar melakukan gerakan gerakan. Hal tersebut dikarenakan terjadi gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh intuisi tertentu, dimana intuisi satu menutup intuisi yang lain dan imbasnya akan memunculkan gejala tertentu. Manusia memiliki milyaran intuisi yang ada dan mungkin ada. Seseorang yang dihipnotis tidak akan bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi pada dirinya. Terdapat sebuah reduksi baik dunia membaca, dunia bersenang senang, dunia berpikir dan sebagainya menjadi dunia hipnotis yang didalamya berirama, terdapat suara bertalu talu, kemudian doa doa yang menciptakan suasana untuk menarik intuisi.

Pertanyaan kedua oleh Sdri Azma “ Apakah bapak setuju dengan metode saintifik?”. Bapak Marsigit menjawab bahwa dalam filsafat bukan mengenai tentang setuju dan tidak setuju. Filsafat mengenai seberapa jauh kita menjelaskan metode saintifik. Sehingga sebenar benarnya filsafat adalah penjelasan itu. Jika kita bersih kukuh dengan apa yang diyakini maka muncul mitos, jika merasa sangat jelas sekali maka muncul mitos, dan jika fanatik maka terjebak dalam ruang dan waktu yang begitu gelap menurut filsafat. Metode saintifik merupakan salah satu dari ribuan metode yang ada dan mengapa kita hanya memilih satu dan menjadi fanatik.

Pertanyaan ketiga “ Bagaiamana kritera seseorang yang dikatakan berhasil dalam menuntut ilmu?”. Menurut Bapak Marsigit setiap saat orang berhasil dan setiap saat orang mengalami kegagalan.  Seseorang mungkin hanya tidak merasa,  jika hanya merasa berhasil maka seseorang tersebut merugi separuh dunia karena ia tidak menyadari kegagalannya. Begitu pula sebaliknya jika hanya merasa gagal maka ia akan merugi separuh dunia karena tidak menyadari pula keberhasilannya. Jadi filsafat berusaha untuk adil, seimbang, sedalam dalamnya, dan seluas luasnya.

Pertanyaan keempat “ Bagaiamana konsep siap menurut filsafat?” oleh Sdri Ika. Jawaban Bapak marsigit: Siap menurut filsafat adalah sesuatu yang berhubungan dengan refleksi diri untuk kedepan. Jadi dikatakan siap apabila kita memiliki refleksi diri untuk kedepan. Kemudian sifat tersebut diturunkan menjadi semi psikologi berupa komunikasi. Persiapan adalah sejatinya berupa komunikasi internal yang terdapat di dalam diri kita. Kemudian diturunkan lagi menjadi readiness yang merupakan sesuatu yang penting dalam unsur psikologi. Kesiapan juga mengandung unsur lain berupa timeline, yang artinya berjalannya potensi dan ideal. Sehingga kesiapan juga merupakan bagian daripada endortika dan ternyata tiadalah kesiapan itu yang bersifat tetap dan berhenti walaupun kesiapan dalam keadaan berjalan. Sebenar benarnya kesiapan adalah berhementika.  Jika kita merasa bahwa kita sudah sangat siap, itu adalah mitos karena yang ada hanya sedang melakukan persiapan yang tidak ada akhirnya karena akhir juga adalah mitos. Tiada sebenar benarnya akhir kecuali akhir absolute, itulah dogma agama. Meskipun ada akhir absolute, masih akan diteruskan.

Pertanyaan kelima dari Sdri Fatiyah “Bagaimana filsuf memandang surga dan neraka jika tidak ada benar dan salah?” Bapak Marsigit menjelaskan bahwa sesungguhnya terdapat metodologi etik estetika dalam filsafat. Jadi misalkan kategori benar, baik dan indah jika dikombinasikan akan menjadi sangat banyak jika diekperimenkan: benar baik dan indah, benar baik dan tidak indah, benar tidak baik dan indah, benar tidak baik dan tidak indah demikian seterusnya seperti ini contoh berfilsafat yang merupakan hakekat etik dan estetika. Etik mencerminkan sifat baik buruk, estetika mencerminkan keindahan, epistimologi mengenai benar dan salah, dan ontologi adalah hakekatnya. Jika kita bersih kukuh memandang tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, maka kita akan terjebak di dalam ruang waktu yang gelap. Oleh karena itu, munculkan sifat sintesis, yaitu mampu bertanya. Sehingga itulah pikiran, benar dan salah didalam pikiran. Sebagai contoh 2+2 =4 benar atau salah. Jika modulonya berbasis 3 pertanyaan tersebut bisa jadi salah. Sehingga benar dan salahnya tergantung oleh ruang dan waktu, karena ini hanya sekedar pikiran tidak mengenai surga dan neraka. Benar dan salah adalah domain pikiran, sedangkan surga dan neraka adalah domain hati.

Pertanyaan keenam, “Bagaimana pengaruh filsafat terhadap perkembangan teknologi?’. Bapak Marsigit pernah menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara filsafat dengan perkembangan teknologi yang dijelaskan melalui kisah Resi Gutawa. Konon dahulu terdapat kisah cerita mengenai Resi Gutawa, Resi yang maha sakti. Sakti berarti kata kata yang diucapkan bisa menjadi kenyataan. Pada jaman dahulu hubungan antara ucapan dan kenyataan adalah resi. Resi Gutawa memiliki istri yang sangat cantik, Dewi Windarti, karena sangat cantiknya para Dewa merasa ingin memilikinya. Kemudian ada seorang Dewa yang memiliki cupumanit astgina yang diberikan kepada Dewi Windarti. Dewi merasa sangat tertarik dengan benda tersebut, meskipun tidak mengerti apa arti benda tersebut. Karena merasa sangat tertarik dengan benda tersebut, Dewi melupakan tanggung jawabnya dan lupa kepada perintah sang Resi. Resi kemudian marah dan bertanya “Wahai istriku, kamu sedang bermain apa, mengapa ditanya diam saja?” dan Dewi masih diam saja terhadapa semua pertanyaan yang dilontarkan Resi untuknya. Resi kemudian mengutuk istrinya menjadi patung. Kemudian Resi mengambil cupumanit tersebut, sementara istrinya menjadi patung dan dilemparkan jatuh ke Bengawan, sungai besar. Ketiga anak Resi dua pria dan satu wanita berhari hari mencoba mencari benda tersebut hingga berubah wujud saat terjatuh kedalam sungai menjadi kera. Intisari dari kisah ini adalah apa yang terjadi di masa kini adanya  pemanfaat yang tidak tepat kecanggihan teknologi salah satunya menjadikan seseorang fanatik dan berlebihan dalam menggunakannya. Ternyata sangat jelas bahwa kejadian tersebut sudah sampai ke dunia temporer untuk membuat patungisasi masyarakat dan memasyarakatkan patung. Kita semua telah menjadi patung patungnya di kehidupan kontemporer, jika kita memiliki tapi tidak mengerti, atau memiliki namun tidak menggunakannya secara bijaksana. Berubah wujudnya sang Dewi yang dikutuk menjadi patung dan ketiga anak Resi menjadi kera memberikan makna apa yang terjadi pada manusia kini yang berubah dan tak merasakan perubahan itu.


Sebelum perkuliahan diakhiri, Bapak Marsigit memberikan nasehat kepada kami bahwa dalam berfikir filsafat pun ada batasnya, tidak perlu berfikir jauh dan berfikirlah apa yang ada di sini karena dunia pun ada di sini.