Refleksi
pertemuan ke 4 (Senin, 3 Oktober 2016)
Direfleksikan
oleh : Riska Ayu Ardani (16709251021)
Diperbaiki
oleh : Marsigit
Bismmillahirahmanirrahim,
Assalamu’alaikum,
Wr. Wb.
Pertemuan ke 4 kuliah Filsafat Ilmu ini dijalani
dengan niat dan semangat yang luar biasa demi mendapatkan sebuah harafiah dan nilai
tentang segala sesuatu dalam kehidupan, meskipun perkuliahan ini berakhir
hingga hampir senja. Setiap proses yang terdapat dalam pembelajaran Bapak
Marsigit, menurut sudut pandang saya semua memiliki arti dan nilai. Seperti
halnya, perkuliahan ini diawali dengan 50 soal tanya jawab singkat, memberikan
pehaman bahwa belajar tak terbatas waktu dan terutama tak dibatasi oleh hati,
ikhlas. Setiap nilai 0 yang saya dapatkan, semakin timbul rasa semangat saya
untuk terus belajar dan ikhlas menjalankannya. Kemudian saya memahaminya
kembali, ternyata bukan nilai angka yang saya dapatkan melainkan nilai
kehidupan melalui belajar filsafat ini.
Perkuliahan ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab
yang pertama kali diawali dengan pertanyaan dari Sdra Budiyanto “Bagaimana
filsafat memandang kejadian Hipnotis”.
Kemudian Bapak Marsigit menjelaskan kepada kami bahwa hipnotis bukan
sesuatu yang rumit, karena hipnotis bukan sesuatu yang memiliki rumus. Seperti
seseorang yang bermain kuda lumping mereka merasa tidak sadar melakukan gerakan
gerakan. Hal tersebut dikarenakan terjadi gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh
intuisi tertentu, dimana intuisi satu menutup intuisi yang lain dan imbasnya
akan memunculkan gejala tertentu. Manusia memiliki milyaran intuisi yang ada
dan mungkin ada. Seseorang yang dihipnotis tidak akan bisa menjelaskan mengapa
hal ini terjadi pada dirinya. Terdapat sebuah reduksi baik dunia membaca, dunia
bersenang senang, dunia berpikir dan sebagainya menjadi dunia hipnotis yang
didalamya berirama, terdapat suara bertalu talu, kemudian doa doa yang
menciptakan suasana untuk menarik intuisi.
Pertanyaan kedua oleh Sdri Azma “ Apakah bapak
setuju dengan metode saintifik?”. Bapak Marsigit menjawab bahwa dalam filsafat
bukan mengenai tentang setuju dan tidak setuju. Filsafat mengenai seberapa jauh
kita menjelaskan metode saintifik. Sehingga sebenar benarnya filsafat adalah
penjelasan itu. Jika kita bersih kukuh dengan apa yang diyakini maka muncul
mitos, jika merasa sangat jelas sekali maka muncul mitos, dan jika fanatik maka
terjebak dalam ruang dan waktu yang begitu gelap menurut filsafat. Metode
saintifik merupakan salah satu dari ribuan metode yang ada dan mengapa kita
hanya memilih satu dan menjadi fanatik.
Pertanyaan ketiga “ Bagaiamana kritera seseorang
yang dikatakan berhasil dalam menuntut ilmu?”. Menurut Bapak Marsigit setiap
saat orang berhasil dan setiap saat orang mengalami kegagalan. Seseorang mungkin hanya tidak merasa, jika hanya merasa berhasil maka seseorang
tersebut merugi separuh dunia karena ia tidak menyadari kegagalannya. Begitu
pula sebaliknya jika hanya merasa gagal maka ia akan merugi separuh dunia
karena tidak menyadari pula keberhasilannya. Jadi filsafat berusaha untuk adil,
seimbang, sedalam dalamnya, dan seluas luasnya.
Pertanyaan keempat “ Bagaiamana konsep siap menurut
filsafat?” oleh Sdri Ika. Jawaban Bapak marsigit: Siap menurut filsafat adalah
sesuatu yang berhubungan dengan refleksi diri untuk kedepan. Jadi dikatakan
siap apabila kita memiliki refleksi diri untuk kedepan. Kemudian sifat tersebut
diturunkan menjadi semi psikologi berupa komunikasi. Persiapan adalah sejatinya
berupa komunikasi internal yang terdapat di dalam diri kita. Kemudian
diturunkan lagi menjadi readiness yang merupakan sesuatu yang penting dalam
unsur psikologi. Kesiapan juga mengandung unsur lain berupa timeline, yang
artinya berjalannya potensi dan ideal. Sehingga kesiapan juga merupakan bagian
daripada endortika dan ternyata tiadalah kesiapan itu yang bersifat tetap dan
berhenti walaupun kesiapan dalam keadaan berjalan. Sebenar benarnya kesiapan
adalah berhementika. Jika kita merasa
bahwa kita sudah sangat siap, itu adalah mitos karena yang ada hanya sedang
melakukan persiapan yang tidak ada akhirnya karena akhir juga adalah mitos.
Tiada sebenar benarnya akhir kecuali akhir absolute, itulah dogma agama.
Meskipun ada akhir absolute, masih akan diteruskan.
Pertanyaan kelima dari Sdri Fatiyah “Bagaimana filsuf
memandang surga dan neraka jika tidak ada benar dan salah?” Bapak Marsigit menjelaskan
bahwa sesungguhnya terdapat metodologi etik estetika dalam filsafat. Jadi
misalkan kategori benar, baik dan indah jika dikombinasikan akan menjadi sangat
banyak jika diekperimenkan: benar baik dan indah, benar baik dan tidak indah,
benar tidak baik dan indah, benar tidak baik dan tidak indah demikian
seterusnya seperti ini contoh berfilsafat yang merupakan hakekat etik dan
estetika. Etik mencerminkan sifat baik buruk, estetika mencerminkan keindahan,
epistimologi mengenai benar dan salah, dan ontologi adalah hakekatnya. Jika
kita bersih kukuh memandang tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, maka
kita akan terjebak di dalam ruang waktu yang gelap. Oleh karena itu, munculkan
sifat sintesis, yaitu mampu bertanya. Sehingga itulah pikiran, benar dan salah
didalam pikiran. Sebagai contoh 2+2 =4 benar atau salah. Jika modulonya
berbasis 3 pertanyaan tersebut bisa jadi salah. Sehingga benar dan salahnya
tergantung oleh ruang dan waktu, karena ini hanya sekedar pikiran tidak
mengenai surga dan neraka. Benar dan salah adalah domain pikiran, sedangkan
surga dan neraka adalah domain hati.
Pertanyaan keenam, “Bagaimana pengaruh filsafat
terhadap perkembangan teknologi?’. Bapak Marsigit pernah menjelaskan bahwa
terdapat hubungan antara filsafat dengan perkembangan teknologi yang dijelaskan
melalui kisah Resi Gutawa. Konon dahulu terdapat kisah cerita mengenai Resi
Gutawa, Resi yang maha sakti. Sakti berarti kata kata yang diucapkan bisa
menjadi kenyataan. Pada jaman dahulu hubungan antara ucapan dan kenyataan adalah
resi. Resi Gutawa memiliki istri yang sangat cantik, Dewi Windarti, karena
sangat cantiknya para Dewa merasa ingin memilikinya. Kemudian ada seorang Dewa
yang memiliki cupumanit astgina yang diberikan kepada Dewi Windarti. Dewi
merasa sangat tertarik dengan benda tersebut, meskipun tidak mengerti apa arti
benda tersebut. Karena merasa sangat tertarik dengan benda tersebut, Dewi
melupakan tanggung jawabnya dan lupa kepada perintah sang Resi. Resi kemudian
marah dan bertanya “Wahai istriku, kamu sedang bermain apa, mengapa ditanya
diam saja?” dan Dewi masih diam saja terhadapa semua pertanyaan yang
dilontarkan Resi untuknya. Resi kemudian mengutuk istrinya menjadi patung.
Kemudian Resi mengambil cupumanit tersebut, sementara istrinya menjadi patung
dan dilemparkan jatuh ke Bengawan, sungai besar. Ketiga anak Resi dua pria dan
satu wanita berhari hari mencoba mencari benda tersebut hingga berubah wujud
saat terjatuh kedalam sungai menjadi kera. Intisari dari kisah ini adalah apa
yang terjadi di masa kini adanya pemanfaat yang tidak tepat kecanggihan
teknologi salah satunya menjadikan seseorang fanatik dan berlebihan dalam
menggunakannya. Ternyata sangat jelas bahwa kejadian tersebut sudah sampai ke
dunia temporer untuk membuat patungisasi masyarakat dan memasyarakatkan patung.
Kita semua telah menjadi patung patungnya di kehidupan kontemporer, jika kita
memiliki tapi tidak mengerti, atau memiliki namun tidak menggunakannya secara
bijaksana. Berubah wujudnya sang Dewi yang dikutuk menjadi patung dan ketiga
anak Resi menjadi kera memberikan makna apa yang terjadi pada manusia kini yang
berubah dan tak merasakan perubahan itu.
Sebelum perkuliahan diakhiri, Bapak Marsigit
memberikan nasehat kepada kami bahwa dalam berfikir filsafat pun ada batasnya,
tidak perlu berfikir jauh dan berfikirlah apa yang ada di sini karena dunia pun
ada di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar