Minggu, 06 November 2016

FILSAFAT AWAL DAN AKHIR ZAMAN

Kajian filsafat merupakan pola pikir yang memiliki objek yang ada dan yang mungkin ada yang terletak di dalam pikiran atau di luar pikiran manusia.  Objek tersebut masing-masing mempunyai sifat. Problem filsafat ada dua yaitu pertama bagaimana menjelaskan apa yang ada di dalam pikiran, sebenar-benar diri kita tidak ada yang mampu menjelaskan apa yang ada di dalam pikiran, hanya dipersepsikan sama dengan ikiran orang lain padahal belum selesai. Persoalan kedua ialah bagaimana saya mengerti obyek filsafat yang ada di luar pikiran. Beberapa sifat yang ada di dalam pikiran yaitu bersifat idealisme (Plato), tetap (Permenides), logiscisme, rasionalisme (Rene Des Cartes), naik sedikit merupakan prinsip berarti bersifat identitas yang berarti A=A, transenden, absolutisme, naik lagi menjadi spiritualisme yang hakekatnya hanya satu yaitu monoisme (kuasa Tuhan), dunia pikir, hati, akhirat yang merupakan dunia yang tunggal menyatu kepada kuasanya dalam ridhonya (dunia pikir, hati akhirat merupakan causa prima yaitu sebab utama dan sebab pertama yaitu Tuhan), analitik (konsisten), kebenarannya bersifat koheren, aposteriori dan apriori (paham walau hanya melalui logika) yang merupakan pekerjaan ilmu murni termasuk matematika murni bersifat apriori, (yang penting konsisten, identitas, awal akhir menjadi ilmu bersifat apriori), kontradiksi dalam matematika merupakan ketidakkonsistenan
Beberapa sifat yang berada di luar pikiran yaitu bersifat realis (Aristoteles), berubah (Heraclitos), empirisisme (Dhume), bayangan, dunia persepsi (panca indera), kenyataan pengalaman yang bersifat kontradiksi dimana AA dalam ruang dan waktu, plural dimana hakekat dunia adalah hakekat yang plural, kenyataan bersifat sintetik (kontradiksi, cocok dengan persepsi), menghasilkan filsafat korespondensialisme, pengalaman bersifat aposteriori (paham setelah melihat, mengamati). Filsafat tergantung dimana obyeknya dan sifatnya seperti apa. Filsafat itu mengalir hidup. Semua yang dilihat adalah bayangan dari pikiran. Semua yang bisa dipersepsi adalah bayangan daripada pikiran. Hidup setiap saat naik turun, berhermenetika antara pikiran, hati, doa dan pengalaman.
Identitas itu terbebas oleh ruang dan waktu, 4 sama dengan 4 hanya terjadi di dalam fikiran. Tetapi jika sudah di ucapkan maka munculah perbedaan antara 4 yang pertama dan 4 yang kedua yang menjadi realis dan kontradiksi hukumnya. Kontradiksi dalam konteks ini berbeda dengan kontradiksi pada matematika. Sebenar benar hidup ini adalah kontradiksi, tetapi tetap saja bukan kontradiksinya matematika. Jadi di dunia ini tidak akan pernah ada aku sama dengan aku. Maka yang hanya memiliki sifat identitas itu adalah Tuhan. Karena pada dasaranya diri kita pun selalu berubah dalam dunia ini, bisa berkembang bisa juga meluruh atau satu sisi bertambah satu sisi bisa berkurang. Setiap detik selalu terjadi perubahan, seperti teori Heraditos. Sehingga dapat dikatakan bahwa dunia itu berubah, meskipun dunia itu tetap. Jika kita berfilsafat kita maka kita bisa melihat apa yang akan tetap dan apa yang akan berubah.
Penjelasan diatas merupakan abad gelap dalam filsafat. Ketika abad gelap sampai abad ke 13, di Eropa tidak diperbolehkan seorangpun mengklaim kebenaran kecuali atas restu gereja, barang siapa berani menentang dianggap melawan gereja dan harus dihukum. Tokoh-tokoh yang menyuarakan kebenaran atas diri seniri tidak meminta restu gereja akan dikejar dan dibunuh. Apapun yang ada dan mungkin ada di dunia ini yang berupa kebenaran harus melalui gereja pada abad gelap.
            Tetapi dengan adanya Revolusi Copernicus yang membuat buku yang berisi pertentangan-pertentangan. Alam semesta memiliki bumi sebagai pusatnya. Buku Copernicus bertentangan dari geosentris menjadi heliosentris, dimana bukan alam semesta mengelilingi bumi, tetapi bumi, bulan, planet bersama mengelilingi matahari yang berpusat pada matahari bukan bumi. Semua ilmu pengetahuan yang dibuat hingga sekarang mengikuti kebenaran yang dibuat oleh Copernicus.
            Selanjutnya, setelah Revolusi Copernicus muncullah abad terang dimana terdapat padangan rasionalisme dengan tokoh Rene Des Cartes mengatakan tiada ilmu jika tiada rasio, sedangkan kenyataan dalam filsafat yang berdasarkan kontradiksi menurut Immanuel Kant, selanjutnya melahirkan empirisisme dengan tokoh David Hume yang mengatakan tiada ilmu jika tiada pengalaman.
Abad modern terjadi setelah munculnya Immanuel Kant (1671) melalui buku-bukunya. Immanuel kant mengkritik sekaligus mendamaikan Rene Des Cartes dan David Hume, dimana Rene Des Cartes terlalu mengagung-angungkan rasio tetapi mengabaikan pengalaman, dan David Hume terlalu mengagungkan pengalaman tetapi mengabaikan rasio. Immanuel Kant mengambil solusi dari rasionalisme yang sifatnya adalah analitik apriori, kemudian dari pengalaman yang bersifat sintetik aposteriori, maka Immanuel Kant mengambil apriori dari rasionalisme dan sintetik dari pengalaman. Sebenar-benar ilmu menurut Immanuel Kant adalah sintetik apriori. Ilmu terus berkembang di dalam pikiran bersifat formalisme, dalam matematika tokohnya Hilbert melahirkan Hilbertianisme ilmu-ilmu dasar dan ilmu-ilmu bidang. Kemudian terdapat ilmu-ilmu humaniora yang berada di dalam pikiran, yang seharunya ilmu humaniora (Geisterweissaften) ini terdapat diluar pikiran manusia awalnya. Sedang di luar pikiran terdapat ilmu natural (Naturaweisensaften) pada titik ini munculah tokoh Aguste Comte (1857).
Agama  menurut Aguste Comte adalah sesuatu yang tidak logis, sehingga untuk membangun dunia kedudukan agama diletakkan paling bawah. Agama dijadikan sebagai sebuah tradisi saja bagi yang sudah menjalankan atau meyakininya. Kemudian Aguste Comte meletakkan filsafat setelah agama dan paling atas adalah positifisme atau saintifik.  Sudah digariskan pada abad ke-19 (1857) oleh Aguste Comte yang menciptakan buku mengenai Positivisme dalam membangun dunia, jangan menggunakan agama karena agama sifatnya tidak logis.
Jika berbicara mengenai awal dan akhir jaman maka kembali melihat bahwa hal tersebut memiliki struktur, meninjau berstruktur pada level mana posisi awal dan akhir jaman tersebut. Jika berdasarkan common sense maka awal akhir jaman adalah waktu dimana manusia belum diciptakan, sampai diciptakannya nabi Adam. Sedangkan akhir jaman merupakan waktu datangnya kiamat. Tapi karena hal ini adalah bagian dari filsafat yang bersifat relative, awal akhir jaman merupakan rentangan waktu. Bagaimana mengetahui rentangan waktu tersebut tergantung dari  mana konteks waktu itu sendiri. Agama islam berada pada abad ke 5 setelah masehi. Sehingga sebelum mencapai waktu itu, tidak ada filsuf islam. Namun kenyataannya filsafat itu sendiri sudah menjelajah sampai keadaan dan waktu sebelum masehi yang tentumya belum mengenal tentang agama.
Sedang di negara Indonesia, menyusun kedudukan dimulai dari material, formal, normative hingga spiritual yang dilewati saja oleh dunia hingga pada akhirnya muncul fenomena kontemporer. Fenomena kontemporer meletakkan archaic pada posisi bawah, kemudian tribal, tradisional. Melalui Power Now pada kontemporer semua agama masuk pada area tradisional tidak boleh lebih karena kedudukan selanjutnya terdapat feodal, modern, pra modern, dan kemudia pada akhirnya menuju pada fenomena kontemporer (Power Now). Para penganut fenomena kontemporer mempelajari agama tidak dari timur tengah, melainkan dari wilayah yang lebih jauh. Salah satu tokohnya adalah Stephen Howking yang mengatakan bahwa penciptaan alam semesta itu tidak berkaitan dengan Tuhan. Kondisi tersebut didukung dengan pilar-pilar seperti: Kapitalisme, Pragmatisme, Materailisme, Utilitarisme, Liberalisme, dan Hedonisme.
            Setiap hari, setiap waktu Indonesia yang kokoh dengan spiritualisme akan kalah karena diserang habis-habisan. Alat yang digunakan oleh mereka dalam menyerang adalah penciptaan sesuatu yang modern dan canggih. Faktanya pada saat ini, kehidupan kita adalah kehidupan dengan dunia kontemporer karena Indonesia bergantung pada fenomena kontemprorer dikarenakan Indonesia belum bisa mandiri dalam segala bidang. Sehingga terjadi residu, jika digambarkan kita seperti seekor ikan di laut selatan untuk menemukan mana air yang bersih yang tidak terkena polutan. Belajar filsafat seperti seekor ikan kecil di laut selatan yang ingin mngidentifikasi dari mana sumber air yang ada dilaut. Jika diteruskan munculah semua filsafat dan tergantung bagaimana objel pola pikir dikembangkan. Kemudian setelah belajar filsafat maka munculah ideology, paradigma, teori, model, notion, semboyan, dan stigma. Semuanya yang berada didalam pikiran menjadi sebuah prinsip yang dijadikan resep hidup, sedangkan semuanya jika berada diluar pikiran akan menjadi bayangan. Sangat hebat jika seekor ikan yang berada pada diluar pikiran keluar sampai menuju prinsip yang terdapat di dalam pikiran.




           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar